100 Hari Untukmu
Tet... tet... tet...
Bel istirahat berbunyi....
Semua siswa segera bergegas keluar dari kelas masing-masing. Tak lama kemudian, di tepi lapangan terdapat tiga anak cowok dan tiga anak cewek yang sedang bercanda bersama. Di antara enam anak-anak itu, yang empat sudah berstatus pacaran. Hanya Herli dan Ria yang belum mempunyai pasangan.
Herli dan Ria merasa iri terhadap teman-temannya. Mereka ingin sekali merasakan seperti anak-anak yang lain. Tetapi, di pikiran mereka berdua hanya belajar dan belajar.
"Mereka kelihatannya mesra ya?" kata Ria mengomentari dua pasangan yang bercanda bersama dengan dia. "Iya, aku ingin sekali seperti mereka. Tetapi, aku terlalu sibuk dengan kegiatan sekolahku," kata Herli menanggapi Ria. "Gimana kalau kita pacaran seperti mereka? Tetapi, kita pacaran hanya seratus hari saja," kata Ria menawari Herli.
"Kalau kamu merasa tidak cocok dengan aku, kamu bisa mengakhiri pada seratus hari. Tetapi kalau kamu merasa cocok denganku, kamu bisa melanjutkan lebih dari seratus hari," jelas Ria.
"Okelah kalau begitu," Herli menyetujui penawaran Ria. "Kita hitung mulai hari ini ya?" tanya Ria. "Boleh, semoga seratus hari ke depan aku bisa mengerti arti pacaran," jawab Herli.
Akhirnya mereka berdua berstatus pacaran sama dengan teman-temannya yang lain. Untuk kali pertama, setelah pulang sekolah mereka langsung jalan-jalan untuk mencari buku. Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mereka lalui dengan kebahagian. Sepertinya yang mereka pikirkan dulu mengenai rumitnya berpacaran telah terlupakan. Mereka sama sekali tidak terbebani dengan keadaan sekarang. Tak terasa satu bulan pun mereka lewati.
Hari ketiga puluh lima, pada saat itu adalah sabtu dan mereka merencanakan akan nonton bioskop berdua. Sebab, selama berpacaran mereka tidak menonton sama sekali. Pada saat pulang sekolah, mereka langsung pergi nonton. Setiba di mal tempat mereka nonton bioskop, Herli langsung mengantre untuk membeli tiket dan Ria membeli makanan untuk nanti pada saat nonton. Mereka menonton film komedi karena Ria tidak berani melihat film yang berbau horor.
"Gimana? Lucu filmnya?" tanya Herli setelah film yang ditonton selesai. "Lucu banget, kayak kamu pemain utamanya. Ha..ha..ha..." jawab Ria lantas tertawa terbahak-bahak. "Tidak apa-apa, jelek-jelek gini yang penting kan pacarmu," kata Herli.
Hati Ria langsung tersentuh, padahal status pacaran mereka hanya main-main. Akan tetapi, Herli melewatinya seperti pacaran betulan. Ria langsung menggandeng tangan Herli dan mengajaknya mencari tempat makan. Mereka melewati hari ini dengan keceriaan.
Dua minggu kemudian, mereka melihat konser band Ungu di mal. Namun, setiba di rumah Ria, ayah dan ibu Ria menunggu di teras rumah. Tiba-tiba ayah Ria memanggil Ria dan Herli. "Bagus ya, sekarang berani keluar malam-malam. Kamu tidak tahu, sekarang pukul berapa?" ucap ayah Ria marah-marah.
"Maaf Om, memang saya yang salah, saya mengajak Ria tanpa izin dahulu sama om dan tante sampai larut malam begini," kata Herli sambil menundukkan kepala. "Ria sudah besar Yah, Ria sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Ria meminta kebebasan sama ayah dan mama," kata Ria kepada ayahnya dengan nada membantah.
"Sudah alasan saja kalian berdua, kamu, Ria cepat masuk rumah. Lalu kamu cepat pergi dari sini dan jangan coba-coba dekat-dekat dengan Ria!" kata ayah Ria sambil menunjuk Herli.
Herli pun pulang dengan perasaan sedih. Dia menyesal karena tidak izin kepada orang tua Ria sebelum mengajak Ria pergi. Setiba di rumah, Herli menuju kamar dan langsung tidur meninggalkan beban hari ini.
Hari-hari terlewati begitu cepat dan tak terasa. Mereka berdua sudah melewati hari kedelapan puluh, hari kesembilan puluh, dan seterusnya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan, Ria mengajak Herli hanya jalan-jalan di taman kota. Di taman kota Ria mengajak Herli duduk karena mereka kecapekan setelah jalan-jalan berputar-putar taman.
"Kamu capek Sayang?" tanya Ria sambil mengusap keringat di kepala Herli dengan sapu tangan."Begitulah, tapi aku senang bisa jalan-jalan dengan kamu. Bikin capek ini hilang." kata Herli.
"Ah, kamu itu. Ya udah aku carikan minum dulu yah?" tawar Ria. "Nggak usah, biar nanti saja, cari sama-sama. Kamu juga kelihatannya capek gitu," ujar Herli sambil memegang tangan Ria. Udahlah, tidak apa-apa. Aku kasihan lihat kamu yang kecapekan seperti ini. Aku cari minum dulu ya?" kata Ria.
Dia bergegas meninggalkan Herli untuk mencari minum. Namun, Herli menunggu Ria sangat lama. Herli merasakan sesuatu yang tidak wajar. Herli cuma berpikiran bahwa itu hanya imajinasi. Sudah satu jam Ria meninggalkan Herli sendirian. Tiba-tiba orang-orang berlarian, ke arah Ria membeli minum tadi.
"Ada apa, Mas?" tanya Herli kebingungan. "Ada cewek tertabrak mobil," jawab seseorang sambil berlarian. "Di mana, Mas ?" tanya Herli. "Di depan sana," jawab seseorang.
Tak berpikir lama, Herli melihat kejadian itu. Dan, yang tertabrak itu adalah Ria, kekasihnya sendiri. Herli sangat menyesal. "Seharusnya aku saja yang seharusnya membeli air minum," kata Herli sambil menangisi Ria.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku cuma mau bilang bahwa selama seratus hari ini sudah kita lewati bersama. Aku juga jujur bahwa selama ini aku merasakan kecocokan sama kamu dan ingin selamanya kamu di sisiku!" ungkap Ria kepada Herli. "Aku juga senang bisa seratus hari jalan sama kamu dan aku juga sayang sama kamu. Aku mau jadi kekasihmu selamanya," jawab Herli.
Ria tersenyum senang, lalu Herli memeluk Ria dengan rasa sayang hingga Herli tak menyadari bahwa Ria sudah mengembuskan napas yang terakhir pada saat dia memeluknya. ***
Bel istirahat berbunyi....
Semua siswa segera bergegas keluar dari kelas masing-masing. Tak lama kemudian, di tepi lapangan terdapat tiga anak cowok dan tiga anak cewek yang sedang bercanda bersama. Di antara enam anak-anak itu, yang empat sudah berstatus pacaran. Hanya Herli dan Ria yang belum mempunyai pasangan.
Herli dan Ria merasa iri terhadap teman-temannya. Mereka ingin sekali merasakan seperti anak-anak yang lain. Tetapi, di pikiran mereka berdua hanya belajar dan belajar.
"Mereka kelihatannya mesra ya?" kata Ria mengomentari dua pasangan yang bercanda bersama dengan dia. "Iya, aku ingin sekali seperti mereka. Tetapi, aku terlalu sibuk dengan kegiatan sekolahku," kata Herli menanggapi Ria. "Gimana kalau kita pacaran seperti mereka? Tetapi, kita pacaran hanya seratus hari saja," kata Ria menawari Herli.
"Kalau kamu merasa tidak cocok dengan aku, kamu bisa mengakhiri pada seratus hari. Tetapi kalau kamu merasa cocok denganku, kamu bisa melanjutkan lebih dari seratus hari," jelas Ria.
"Okelah kalau begitu," Herli menyetujui penawaran Ria. "Kita hitung mulai hari ini ya?" tanya Ria. "Boleh, semoga seratus hari ke depan aku bisa mengerti arti pacaran," jawab Herli.
Akhirnya mereka berdua berstatus pacaran sama dengan teman-temannya yang lain. Untuk kali pertama, setelah pulang sekolah mereka langsung jalan-jalan untuk mencari buku. Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, mereka lalui dengan kebahagian. Sepertinya yang mereka pikirkan dulu mengenai rumitnya berpacaran telah terlupakan. Mereka sama sekali tidak terbebani dengan keadaan sekarang. Tak terasa satu bulan pun mereka lewati.
Hari ketiga puluh lima, pada saat itu adalah sabtu dan mereka merencanakan akan nonton bioskop berdua. Sebab, selama berpacaran mereka tidak menonton sama sekali. Pada saat pulang sekolah, mereka langsung pergi nonton. Setiba di mal tempat mereka nonton bioskop, Herli langsung mengantre untuk membeli tiket dan Ria membeli makanan untuk nanti pada saat nonton. Mereka menonton film komedi karena Ria tidak berani melihat film yang berbau horor.
"Gimana? Lucu filmnya?" tanya Herli setelah film yang ditonton selesai. "Lucu banget, kayak kamu pemain utamanya. Ha..ha..ha..." jawab Ria lantas tertawa terbahak-bahak. "Tidak apa-apa, jelek-jelek gini yang penting kan pacarmu," kata Herli.
Hati Ria langsung tersentuh, padahal status pacaran mereka hanya main-main. Akan tetapi, Herli melewatinya seperti pacaran betulan. Ria langsung menggandeng tangan Herli dan mengajaknya mencari tempat makan. Mereka melewati hari ini dengan keceriaan.
Dua minggu kemudian, mereka melihat konser band Ungu di mal. Namun, setiba di rumah Ria, ayah dan ibu Ria menunggu di teras rumah. Tiba-tiba ayah Ria memanggil Ria dan Herli. "Bagus ya, sekarang berani keluar malam-malam. Kamu tidak tahu, sekarang pukul berapa?" ucap ayah Ria marah-marah.
"Maaf Om, memang saya yang salah, saya mengajak Ria tanpa izin dahulu sama om dan tante sampai larut malam begini," kata Herli sambil menundukkan kepala. "Ria sudah besar Yah, Ria sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Ria meminta kebebasan sama ayah dan mama," kata Ria kepada ayahnya dengan nada membantah.
"Sudah alasan saja kalian berdua, kamu, Ria cepat masuk rumah. Lalu kamu cepat pergi dari sini dan jangan coba-coba dekat-dekat dengan Ria!" kata ayah Ria sambil menunjuk Herli.
Herli pun pulang dengan perasaan sedih. Dia menyesal karena tidak izin kepada orang tua Ria sebelum mengajak Ria pergi. Setiba di rumah, Herli menuju kamar dan langsung tidur meninggalkan beban hari ini.
Hari-hari terlewati begitu cepat dan tak terasa. Mereka berdua sudah melewati hari kedelapan puluh, hari kesembilan puluh, dan seterusnya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan, Ria mengajak Herli hanya jalan-jalan di taman kota. Di taman kota Ria mengajak Herli duduk karena mereka kecapekan setelah jalan-jalan berputar-putar taman.
"Kamu capek Sayang?" tanya Ria sambil mengusap keringat di kepala Herli dengan sapu tangan."Begitulah, tapi aku senang bisa jalan-jalan dengan kamu. Bikin capek ini hilang." kata Herli.
"Ah, kamu itu. Ya udah aku carikan minum dulu yah?" tawar Ria. "Nggak usah, biar nanti saja, cari sama-sama. Kamu juga kelihatannya capek gitu," ujar Herli sambil memegang tangan Ria. Udahlah, tidak apa-apa. Aku kasihan lihat kamu yang kecapekan seperti ini. Aku cari minum dulu ya?" kata Ria.
Dia bergegas meninggalkan Herli untuk mencari minum. Namun, Herli menunggu Ria sangat lama. Herli merasakan sesuatu yang tidak wajar. Herli cuma berpikiran bahwa itu hanya imajinasi. Sudah satu jam Ria meninggalkan Herli sendirian. Tiba-tiba orang-orang berlarian, ke arah Ria membeli minum tadi.
"Ada apa, Mas?" tanya Herli kebingungan. "Ada cewek tertabrak mobil," jawab seseorang sambil berlarian. "Di mana, Mas ?" tanya Herli. "Di depan sana," jawab seseorang.
Tak berpikir lama, Herli melihat kejadian itu. Dan, yang tertabrak itu adalah Ria, kekasihnya sendiri. Herli sangat menyesal. "Seharusnya aku saja yang seharusnya membeli air minum," kata Herli sambil menangisi Ria.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku cuma mau bilang bahwa selama seratus hari ini sudah kita lewati bersama. Aku juga jujur bahwa selama ini aku merasakan kecocokan sama kamu dan ingin selamanya kamu di sisiku!" ungkap Ria kepada Herli. "Aku juga senang bisa seratus hari jalan sama kamu dan aku juga sayang sama kamu. Aku mau jadi kekasihmu selamanya," jawab Herli.
Ria tersenyum senang, lalu Herli memeluk Ria dengan rasa sayang hingga Herli tak menyadari bahwa Ria sudah mengembuskan napas yang terakhir pada saat dia memeluknya. ***
Kecewa Berujung Duka
Ririn Angga N.I.APA yang membuat Tina merasa sangat sedih sekali? ''Kekecewaan,'' itulah jawabannya. Tina adalah seorang gadis yang baik namun sering kecewa. Suatu hari dia merasa sedih sekali. Luka lama yang sudah dilupakannya akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya muncul lagi saat dia kembali ke desa.
Dia berada di dalam rumah yang sudah ditinggalkannya empat tahun lalu. Rumah itu kini ditinggali paman yang membantunya sejak orang tua dan adiknya tiada, saat dia masih duduk di kelas 1 SMA. Tina lalu pergi ke sawah di belakang rumah. Dia mengenang saat terakhir bertemu orang tua serta adiknya.
Saat itu dia mengalami penyesalan yang amat dalam. Namun, dia mampu menghadapi kenyataan dan menjalani hidup sebaik-baiknya, sebaik orang tuanya mendidiknya. Tina perlahan mengingat kembali kejadian waktu itu. ''Tina, apa kamu yakin tidak mau ikut ke rumah nenek?'' tanya ibu.
''Malas, aku capek,'' jawab Tina tanpa melihat ke arah ibu maupun ayahnya. Saat itu Tina marah karena ayahnya tidak memenuhi janji untuk membelikan harmonika baru. Saat itu ayahnya benar-benar lupa dan Tina tergolong anak yang akan sangat kecewa jika apa yang sangat diinginkannya tidak dituruti.
''Apa kamu masih marah karena ayah belum membelikanmu harmonika? Maaf ya Nak, ayah benar-benar lupa,'' kata ayahnya sabar. ''Nggaaak..,'' jawab Tina marah sambil menahan tangis. Saat kecewa begini, Tina lebih suka menyendiri dan tidak mau diganggu. ''Baiklah, ayah tidak memaksa lagi. Jaga diri baik-baik di rumah. Ayah tinggalkan uang di atas meja kalau kamu mau beli sesuatu,'' ujar ayahnya.
''Jangan lupa makan dan kunci semua pintu kalau sudah malam,'' pesan ibunya. Tina memang anak pemberani. Dia bahkan tidak perlu penjaga saat ayah dan ibunya pergi tanpa dirinya. ''Kakak, ayo pergi. Nanti aku nggak ada teman,'' ajak adiknya.
''Nggak ah, Dek... Kan sudah ada ayah dan ibu. Sudah ya, kakak mau tidur,'' balas Tina sambil mengambil posisi berbaring di kamarnya. Saat itu juga adiknya keluar menyusul ayah dan ibunya.
''Tina, ibu pergi dulu ya. Jangan marah terus, nanti kamu cepat tua, hehehe...,'' kata ibunya sambil bercanda. Tina tetap diam dan tidak menjawab. Lalu, dia membuka jendela kamar dan melihat ke luar, di mana ayah, ibu, dan adiknya berjalan meninggalkannya. Tina melihat pemandangan itu sambil menangis.
Sebenarnya dia sangat sedih karena telah bersikap seperti itu kepada orang tua dan adiknya. Tina adalah tipikal anak baik. Namun, hari ini dia begitu kecewa dengan ayahnya. Saat kecewa, Tina akan merasa sangat marah walaupun sebenarnya dia sangat sedih telah berperilaku seperti itu.
Kini dia merasa sangat bersalah karena telah bersikap tak acuh pada orang tua yang sudah sangat sabar kepadanya. Dia menangis dalam diam di kamarnya hingga malam tiba. Beberapa jam kemudian, Tina terbangun, lalu keluar dari kamarnya untuk makan malam. Setelah makan, dia berpikir untuk menelepon orang tuanya besok. Dia ingin titip salam dan maaf untuk neneknya karena hari ini tidak bisa berkunjung ke sana.
***
Keesokannya, Tina terbangun pagi-pagi sekali. Dia langsung teringat orang tua dan adiknya. Dia menuju telepon untuk memutar nomor rumah neneknya tersayang. Saat hendak mengangkat gagang telepon, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah.
Tina pun segera membuka pintu rumahnya. ''Loh, Paman, mari masuk...,'' sapa Tina ramah. Pria di hadapannya itu adalah paman Tina yang tinggal bersama neneknya. ''Paman kok ke sini, ada apa? Bukannya kemarin ayah, ibu, sama adek ke rumah nenek ya?'' tanya Tina dengan polos.
''Iya...,'' jawab paman sambil mengalihkan pandangannya. ''Paman disuruh nenek untuk menjemputmu, Nak,'' jawab pamannya lagi. Tina tersenyum. ''Oh, oke. aku siap-siap dulu ya,'' kata Tina sambil masuk. Dengan semangat Tina memilih baju. Dia senang karena akan bertemu dengan ayah-ibu dan bisa bermain lagi dengan adiknya.
''Ayo, Paman! Aku sudah siap,'' jawab Tina dengan senyum mengembang. Sang paman hanya membalas dengan pandangan bingung. ''Eh, iya,'' jawab pamannya singkat sambil mengikuti Tina. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Tina berkata kepada pamannya bahwa dirinya ingin sekali bertemu dengan orang tua dan adiknya.
Tiap Tina bercerita, pamannya hanya menjawab singkat. Itu pun hanya kata-kata klise yang terucap, yakni ya dan tidak. Pamannya menjawab dengan wajah khawatir, seolah hal buruk sedang terjadi. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai di rumah neneknya. Sesampainya di sana, Tina melihat ada bendera kuning yang tertancap di depan rumah neneknya.
''Ada apa ini?'' tanya Tina heran. Matanya mulai berkaca-kaca. Tina tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya ada hal buruk. Sangat sangat buruk ''Tina, kamu yang sabar ya,'' kata pamannya sambil menahan tangis. ''Ada apa Paman? Apa yang terjadi?'' tanya Tina mulai khawatir.
Dengan hati-hati, pamannya mulai menjelaskan. ''Kemarin orang tuamu ingin cepat pulang karena kamu sendirian di rumah,'' ujar pamannya menjelaskan. ''Tapi, bus yang ditumpangi ayah, ibu, dan adikmu kecelakaan saat akan menuju desa,'' cerita pamannya sambil menatap Tina tak tega.
''Terus ayah, ibu, dan adik bagaimana Paman? Di mana mereka,'' kata Tina mulai panik. Pamannya tampak tak sampai hati meneruskan ceritanya. Namun, Tina terus mendesak. ''Mereka tidak selamat...,'' ucap pamannya dengan bibir bergetar. Tina kehilangan kata-kata. Kejutan buruk yang tak terduga.
Tina lalu menangis tanpa kata. Hingga kini Tina tidak pernah bisa menebus rasa bersalahnya. Dia baru bisa melupakan segala kesedihannya setelah tiga tahun peristiwa menyedihkan itu berlalu. Setelah lulus SMA, dia memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Dia selalu ingat keinginan terbesar ayahnya. Ayahnya ingin melihatnya menjadi sarjana. Ayahnya ingin Tina menjadi orang yang lebih dari dirinya. Hal itu pula yang sangat ingin Tina lakukan untuk membahagiakan orang tuanya. Sejak saat itu, dia tidak pernah lagi membiarkan kekecewaan menguasai dirinya.
Bagi dia, kekecewaan hanya membawa duka. Kekecewaan membuatnya mengalami penyesalan yang begitu dalam. Tapi, dia yakin bahwa orang tuanya di sana selalu ingin Tina bisa menjalani hari-harinya dengan sebaik-baiknya. Saat itulah dia selalu melalui hari-harinya dengan sabar seperti yang telah diajarkan orang tuanya.
Penulis adalah pelajar Universitas Pelita Harapan Surabaya
Hujan Terakhir Bagiku
Oleh: Aswin Darmawan
Kupandangi tetesan air hujan yang mengalir deras lewat jendela resto fast food. Di sinilah kita. Di sebuah resto fast food. Berdua saja. Aku dan kamu. Persis seperti waktu itu. Meja yang sama. Posisi duduk yang sama.
Keheningan masih menyelimuti kita. Yang terdengar hanyalah bunyi hujan deras di luar dan alunan musik melankolis yang diputar di resto fast food ini. Di sekeliling kita sepi. Mungkin karena jarum jam sudah menunjukkan waktu dini hari.
Kamu masih menunduk memandangi makanan di hadapanmu. Nasi, ayam, telur, dan soft drink. Pesanan yang sama seperti dulu. Aku menatapmu. Tak ada yang beda. Iya, ini masih kamu yang dulu. Bahkan, dengan jaket abu-abu yang biasa kamu kenakan.
"Ayo, dimakan dulu. Makan dulu semuanya, baru kita bicarain," tawarmu. Itu dia. Kata-kata yang sama. Dulu, saat aku akan bercerita tentang masalahku, kamu juga bilang begitu padaku. Ingatkah kamu? Ketika itu, aku langsung melahap semua pesananku sampai habis, lalu bercerita panjang lebar tentang masalahku. Dan hanya dengan melihat tatapanmu yang menenangkan, bebanku seakan terangkat separo. Bahkan, air mataku tidak jadi mengalir, berganti dengan tawa ketika kamu melontarkan kalimat-kalimat jayus.
Tapi... itu dulu. Saat ini, aku bahkan tidak bernafsu untuk mencicipi burger dan french fries di hadapanku. Baru kusadari, sejak tadi aku hanya mengaduk-aduk soft drink dengan sedotan.
Rupanya, kamu juga sedang tidak berminat makan. Pesananmu juga masih utuh di hadapanmu. Akhirnya, kamu memutuskan untuk angkat bicara. "Jadi... kamu melihat kami," ujarmu pelan.
Aku mendongak. Menatapmu dan mengangguk. Jujur saja, aku memang masih shock. Kaget mendapatimu menunggunya di parkiran, melihatnya menghampirimu, kemudian kalian boncengan di atas motor matikmu dengan senyum bahagia. Persis, sama seperti aku dan kamu dahulu kala.
Waktu aku mendengar gosip tentangmu dengannya, aku sudah menduga bahwa gosip tersebut sepertinya benar. Tapi, waktu itu aku selalu membuat penyangkalan-penyangkalan.
Bukankah kamu sendiri yang bilang padaku? Suatu hari tiga tahun yang lalu. "Sampai kapan pun, aku nggak bakal mungkin bisa suka sama dia. Dia cuma teman biasa. Percayalah padaku. Oke?" begitu dulu katamu. Ingatkah kamu?
Hmm.. Apakah kamu mengatakan itu karena dulu kamu pacarku? Apakah karena kita sudah tidak berpacaran, lantas kamu bisa mengingkari ucapanmu sendiri?
Iya, aku tahu. Seharusnya aku tidak boleh sesakit ini kan? Toh, aku sudah bukan pacarmu lagi. Toh, dia pantas mendapatkanmu. Dia berjuang lebih lama dariku. Dia mencintaimu lebih lama dariku. Jauh lebih lama. Seharusnya aku merelakanmu kan?
Aku masih terdiam. Aku yakin, burger dan kentangku sudah sedingin es sekarang. Kamu masih menatapku dalam-dalam. Tatapan yang sama.
Kualihkan pandanganku. Jangan pandang aku seperti itu. Aku tak akan sanggup. Pertahananku bisa pecah. Aku kembali memandang hujan di luar.
Tahukah kau, kau seperti hujan bagiku. Hadirmu menyentuhku. Membasahi tanah hatiku. Aku dulu sangat takut akan cinta. Aku menutup diri. Aku takut tersakiti. Lalu, kamu datang bagai tetesan hujan di musim kemarau. Hadirmu menyejukkan. Kamu selalu bisa membasuh luka-lukaku.
"Maaf ya... Aku... aku menjilat ludahku sendiri," ujarmu pelan. Hmm... ternyata kamu masih ingat janji tidak akan suka padanya itu. Tapi, aku tahu kamu bersungguh-sungguh minta maaf. Aku tahu dari suaramu. Suaramu yang selalu menjadi obat penenangku.
Aku masih terdiam. Banyak sekali yang ingin aku ungkapkan padamu malam ini. Aku ingin berteriak keras-keras bahwa aku masih mencintaimu. Masih dan selalu. Bahwa aku ingin kita kembali dari awal. Bahwa aku tidak rela, sangat tidak rela, kamu jalan bersama orang lain. Bahwa aku... tidak siap kehilanganmu.
Tapi, yang keluar dari bibirku malah, "Iya... aku ikhlas kok,"
Ya Tuhan... apa yang barusan aku bilang? Kenapa aku sok tegar? Kenapa aku tidak bilang saja bagaimana perasaanku sebenarnya? Kenapa aku begini bodoh?
Tatapanmu makin sendu. Aku tak bisa mengartikannya. Apakah kamu sedih untukku?
''Kamu tahu? Kamu adalah orang paling kuat yang pernah aku kenal. Sedangkan, dia... dia nggak bakal bisa tanpaku. Dia sangat hancur ketika melihat kita bersama. Prestasinya menurun. Segalanya kacau. Aku harus menyelamatkannya. Cuma aku yang bisa..." jelasmu, kemudian menarik napas dalam-dalam. Ada kegetiran yang amat dalam dari suaramu.
Rasa nyeri di dadaku terasa menusuk-nusuk. Aku bisa merasakan tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Tapi, aku menahan diri. Mengerjap-ngerjap untuk memastikan air mataku tidak tumpah. Bagaimana kalau aku bilang bahwa aku juga tidak bisa hidup tanpamu? Bagaimana kalau aku bilang, aku tidak akan bisa baik-baik saja?
Dulu, kita berpisah karena kesalahpahaman. Betapa aku masih yakin kita masih saling mencintai. Betapa aku yakin bahwa suatu saat kamu akan kembali padaku, bahwa kita akan bersama lagi.
Tapi entah mengapa, malam ini, firasatku mengatakan bahwa inilah akhir kita. Bahwa sepertinya kamu sudah sangat yakin dan serius menjalani hubungan dengannya. Bahwa aku tidak akan bisa merengkuhmu lagi. Aku benci karena biasanya firasatku benar.
"Aku baru menyadari, terkadang... cinta saja tidak cukup. Pahit memang. Tapi, inilah hidup. Dua orang yang saling mencintai terkadang nggak bisa bersama karena keadaan, karena faktor x, y, z, dan sebagainya. Sakit memang, tapi kita harus menerima kenyataan," ujarmu sambil menatap hujan yang sekarang sudah menjadi gerimis di luar kaca.
Dadaku makin sesak. Perih. Mungkin, beginilah rasanya kalau ada pisau yang menyayat-nyayat hati. Sudahlah... cukup... aku mengerti. Aku yang harus mengalah. Dia tidak bisa tanpamu. Dia bisa hancur tanpamu. Sementara aku, aku pasti bisa kan?
"Iya, aku tahu. Semoga kamu bahagia dengannya ya," ujarku sambil tersenyum, meski dalam hati menangis perih.
Kamu menatapku dalam-dalam dengan tatapan yang sedih itu lagi. "Suatu hari nanti, kamu bakal menemukan cowok yang lebih baik dari aku. Kamu sangat baik. Aku yakin Tuhan memberikan pasangan sangat baik bagimu juga," sekarang suaramu sudah terdengar serak.
Air mataku hampir menetes. Kubuka cepat-cepat bungkus burgerku untuk mengalihkan perhatian. "A..ayo kita makan aja.." ujarku sambil melahap burger dengan cepat. Bahkan, burger keju kesukaanku terasa hambar di lidah. Aku memaksa menelan burger itu dengan susah payah. Seakan jika menelan burger, kesedihanku ikut tertelan.
Aku tidak boleh menangis, tidak boleh.
Hujan sudah berhenti di luar sana. Aku bertekad, ini akan menjadi hujan terakhir bagiku. Setelah ini, aku akan berdiri sendiri tanpamu. Seperti katamu, aku pasti sanggup.
Lagu Karena Ku Sanggup milik Agnes Monica melantun pelan di resto fast food ini. Seakan menyuarakan isi hatiku. Karena ku sanggup, walau ku tak mau... berdiri sendiri tanpamu... ***
K.A.N.G.E.N
oleh Ita QKutrima suratmu.. `Tlah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
SAYUP-sayup suara Ari Lasso saat masih bergabung dengan Dewa 19 mengalun lewat ponsel Naila. Gadis berkulit cokelat dan bermata bundar itu terbangun. Lagu Kangen memang dia pasang sebagai ringtone alarm di ponselnya. Ajaibnya, meski bertempo lambat, lagu itu selalu sukses membangunkan Naila dari tidurnya. Pernah dia mengganti ringtone-nya dengan lagu Blink 182 yang nge-rock, malah nggak bangun. Alhasil, Naila pun telat berangkat ke kampus. Hehe...
Mungkin memang benar, Naila sedang kangen. Ada seseorang nun jauh di sana yang selalu mengisi mimpinya, bermain-main dalam pikirannya, dan selalu dia sebut dalam doanya. Hanya, Naila terus berusaha mengingkari perasaannya. Naila berkilah, dirinya hanya peduli pada sosok tersebut. Apakah dengan selalu mengucap namanya dalam hati, terkesiap ketika mencium aroma mirip parfum yang dia kenakan, dan meneteskan air mata saat membuka foto-fotonya itu namanya "hanya" peduli? Entah... hati Naila yang tahu.
*****
Sudah enam bulan berlalu. Dimaz, orang yang sering mengusik tidur Naila lewat mimpi itu, melanjutkan studi di kota yang berjarak kira-kira 860 km dari tempat tinggal Naila. Sebelumnya, mereka berteman. Mungkin bisa dibilang teman dekat. Awalnya terasa aneh Naila yang pendiam bisa akrab dengan Dimaz yang populer dan punya banyak penggemar. "Kamu itu beda, Nay. Nggak seperti teman-teman cewek lain yang agresif. Kamu bikin aku nyaman." Perkataan Dimaz yang diucapkan tanpa beban itu sudah sanggup membuat Naila seperti melayang.
Kau tanyakan padaku..
Kapan aku akan kembali lagi..
Ya, Naila terus bertanya-tanya kapan Dimaz kembali. Saat akan berangkat, Dimaz berjanji sering menghubungi Naila. Untuk beberapa waktu, Dimaz memenuhi janjinya. Tapi, sebulan setelahnya, kabar dari Dimaz yang selalu dinanti Naila tak kunjung tiba. Tidak lewat SMS, telepon, ataupun akun jejaring sosial. Meskipun keduanya berteman di situs social network, Naila hanya bisa memantau dari jauh, membaca status-status Dimaz dalam diam. Sesekali Naila mengetik SMS atau menulis comment untuk Dimaz, tapi tak berbalas. "Mungkin Dimaz sedang sibuk dengan sekolahnya. Aku tidak ingin mengganggu," ucap Naila dalam hati. Entah... apakah positive thinking itu selalu baik...
*****
Semua kata rindumu
Semakin membuatku `tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa
Pada kenyataannya, bukan Dimaz yang tak berdaya. Naila yang merasakan itu. Hmm... lebih tepatnya Naila tidak tahu seperti apa perasaan Dimaz. Dimaz juga tidak pernah mengirim kata-kata rindu. Jadi, terkadang Naila merasa salah dengan perasaannya yang kangen teramat sangat pada Dimaz. Rasionya mengatakan, perasaan kangen itu timbul dari dua sisi yang saling tarik-menarik sehingga memunculkan keinginan untuk bertemu.
*****
Malam ini Naila lagi-lagi terbangun oleh dering alarm ponselnya yang mengalunkan lagu Kangen milik Dewa. Pukul 01.45 dini hari. Tiba-tiba rasa kangennya muncul lagi. Sebenarnya Naila tak perlu merasa kaget. Sebab, toh itu memang terjadi setiap hari. Setiap malam, pagi, siang. Tapi, malam ini perasaan itu muncul begitu kuat. Membuat detak jantungnya bergetar lebih cepat, beberapa bulir keringat dingin muncul di dahinya, seperti habis ujian lari di sekolah.
Setelah salat Tahajud, Naila merasa lebih tenang. Dia menyalakan komputer dan membuka akun instant message miliknya. Melihat ada siapa saja temannya yang masih online pagi buta begini. Sebuah pesan singkat muncul. Degg! Darahnya seperti mengalir cepat ke ubun-ubun. Itu dari Dimaz.
"Hai. Kok masih bangun Nay?"
"Halo. Iya, barusan kebangun. Kamu apa kabar?" tanya Naila hati-hati.
"Baik. Hehe. Kamu nanti ada kuliah pagi nggak?" balas Dimaz.
"Nggak. Kenapa?" Naila mengetik dengan gemetar.
"Kita ketemu di bandara yuuk. Aku nyampe jam 7 pagi," tulis Dimaz.
"Wah, kamu balik? Oke, aku ke bandara nanti." Naila mengetik sambil tersenyum.
"Can't wait to see u," tutup Dimaz.
Kau tuliskan padaku kata cinta
Yang manis dalam suratmu
Naila tidak bisa berhenti tersenyum. Malam ini, dia mungkin belum mendapatkan kata cinta. Tapi, ucapan Dimaz dalam surat elektronik itu membuatnya yakin bahwa doa-doanya didengar Tuhan. Naila terlalu bahagia untuk meminta lebih. Tidak untuk saat ini. Naila tak sabar menunggu pukul 7 pagi. ***
Buah dari Kebaikan
Oleh Cindy Chintya
MALAM semakin larut. Udara dingin yang menusuk tubuhku semakin membuatku tak berdaya. Aku hanyalah gadis remaja bertubuh mungil yang tinggal di sebuah gubuk kecil nan reot di pinggiran sungai. Aku tinggal bersama ibuku dan tiga adikku yang masih kecil. Adikku yang paling bungsu terlahir dengan keadaan cacat fisik dan mental.
Ibu merawat kami dengan penuh kesabaran. Ibu juga harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari, sekolah, dan mengobati adikku. Ayahku? Jangan tanya soal beliau. Aku tidak mau mengingat tentang ayahku lagi. Dia tidak memedulikan kami. Sehari-hari yang dia kerjakan hanya bermalas-malasan, mabuk, dan judi.
Ibu justru yang harus membanting tulang untuk kami semua. Aku kasihan melihat ibu yang begitu sabar menghadapi ayah. Padahal, setiap hari ayah selalu memukul ibu apabila ibu tidak memberinya uang untuk berjudi. Kalau sudah begitu, ibu hanya menangis dan meminta maaf kepada ayah.
Ujung-ujungnya, ayah pergi entah ke mana tanpa memedulikan kami. Meski begitu, ibu bukan makhluk yang lemah. Beliau begitu kuat dan mampu menghadapi semua ini dengan tegar. "Sumi, ayo bangun sudah azan Subuh, segera salat, Nak. Nanti kamu terlambat masuk sekolah, lho," perintah ibuku.
Aku sekarang duduk di bangku sekolah kelas 2 SMA. Ibu ingin anak-anaknya pintar dan berguna. Yah, meskipun dia harus bekerja menjadi pemungut sampah. Rasanya Tuhan tidak adil padaku. Mengapa Dia memberikan semua cobaan ini kepada keluargaku.
Mengapa Tuhan tidak memberikan kebahagiaan kepada keluargaku. Tapi, ibu selalu menyadarkanku bahwa ini semua adalah ujian dari-Nya. Jadi, bagaimanapun, kita harus sabar dan tetap mensyukurinya. ''Iya Bu, Sumi sudah bangun," jawabku. Ibuku adalah orang yang sangat taat beribadah.
Dia tidak pernah mengeluh meskipun harus merasakan pahitnya hidup ini. Pagi-pagi benar ibu sudah bersih-bersih rumah dan segera menyiapakan sarapan untuk kami semua. Kemudian ibu harus berangkat untuk mencari nafkah. Mulai pagi hingga sore ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Ibu harus menantang sengatan terik matahari sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering, sekering air matanya yang nggak sanggup lagi menetes. Ibu harus melawan rasa malunya karena dicap sebagai pemulung sampah. Sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapa pun.
Tetapi, dia melakukan itu semua demi kami anak-anak tercintanya. Dia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sukses. Dia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya. Ibu tak akan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya.
Malam harinya kami semua berkumpul untuk makan malam. Sebuah makan malam dengan lauk ikan asin sisa tadi pagi dengan sambal buatan ibu yang sangat lezat. Kemudian terdengar suara adikku berkata sambil menangis. "Ibu, Nurul tadi dipanggil ibu guru karena Nurul belum membayar uang sekolah selama enam bulan," ujar adikku.
"Iya, nanti kalau ada rezeki pasti ibu bayar," jawab ibuku sambil tersenyum. ''Tapi Bu, kalau besok Nurul tidak membayar, Nurul tidak boleh masuk sekolah," rengeknya sambil terus menangis. Ibu menghela napas sebentar seraya berpikir bagaimana dia mencari uang. ''Iya, nanti ibu bayar," jawab ibuku sambil menenangkan adikku yang terus menangis.
Mendengar itu semua, rasanya hatiku seperti disambar petir. Hampir saja aku tak kuasa menahan tangisanku. Tetapi, aku melihat ibu yang begitu tegar menghadapi ini semua. Ingin sekali aku membantu ibuku dan berhenti sekolah. Tetapi, ibu tidak pernah membolehkanku untuk itu semua.
Diam-diam, aku membantu ibu untuk mencari uang. Sepulang sekolah biasanya aku menjadi pengamen dengan anak-anak jalanan yang nasibnya sama dengan aku. Tetapi, itu semua masih belum cukup. Malam itu aku memutuskan untuk pergi keluar. Aku harap ada orang dermawan yang menaruh belas kasihan kepadaku.
Aku berkeliling untuk mengamen. Tetapi, semua di luar dugaanku, aku hanya mendapat uang dua ribu rupiah. "Mana cukup uang dua ribu rupiah untuk membayar biaya sekolah Nurul," batinku. Sampai akhirnya aku mengamen tepat saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Aku bernyanyi sesukaku meski suaraku jauh dari kata merdu.
Tiba-tiba kaca mobil itu terbuka. Aku melihat ada sepasang suami istri tua yang tengah melihatku sambil tersenyum. Mereka tampak seperti pasangan kakek nenek. Mereka terlihat seperti orang kaya. Bau parfum khas Arab tercium tajam ketika aku mendekatkan diri pada mobilnya.
Sang bapak lantas menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah kepadaku. Astaga! Banyak sekali! "Maaf Pak, ini terlalu banyak," ucapku sungkan. Bapak tua itu hanya tersenyum. "Ini bulan Ramadan, Nak. Sudah hakmu untuk mendapatkan rezeki dari Allah," jawab bapak itu bijak. Lampu merah menunjukkan angka enam puluh.
Semenit lagi aku akan diklakson mobil-mobil yang antre jika aku tidak segera pergi dari mobil pasangan tua itu. "Baik, Pak. Saya terima sedekah ini. Terima kasih," ucapku senang. Pasangan itu tertawa kecil. Aku lantas pergi menjauhi mobil mereka. Warna lampu berganti warna menjadi hijau.
Aku masih belum percaya dengan uang yang kugenggam. Baru ngamen sebentar sudah dapat dua belas ribu? Berkah sekali aku. Alhamdulillah. Langit yang tak berbintang seolah mendung membuatku memilih untuk pulang. Dengan hati riang aku melangkahkan kaki ke rumah.
Ketika dalam perjalanan, aku menyempatkan diri melongok ke tempat sampah besar. Siapa tahu ada sampah plastik yang bisa dijual kembali. Di samping tempat sampah itu berdiri kukuh rumah orang kaya. Aku melihat ada yang aneh di bawah pagar dekat tempat sampah itu. Sepertinya ada benda terjatuh. Aku mendekati pagar itu dan kuambil benda tersebut.
Ya ampun! Aku kaget dengan apa yang kutemukan. Aku mengenggam sebuah dompet kulit berwarna hitam yang cukup tebal. Saat kubuka, terdapat banyak lembaran seratus ribu. Ah, pasti terjatuh! Lalu aku mencoba mencari KTP pemilik dompet itu. Ya, ketemu! Budi Dermawan, Jalan Anggrek Nomor 9.
Jalan Anggrek? Itu berarti rumah ini! Ini rumah Pak Budi! Dengan sigap, aku lantas memencet bel rumah Pak Budi. Ting tong. Keluarlah seorang wanita dengan dandanan khas ibu rumah tangga. "Ada apa ya, Dik?" tanyanya padaku dengan ramah. ''Eng..ini..anu.. dompetnya Pak Budi jatuh di dekat bak sampah," jelasku takut.
Ibu itu kemudian mengamati dompet yang kuberikan. "Astaga benar! Ini dompet suami saya! Terima kasih ya Dik!" ujar ibu itu dengan antusias. Ibu itu lantas mengajakku masuk ke rumahnya yang besar. Rumahnya bagus sekali. Begitu bersih dan luas. Ibu itu memberiku minum dan mempersilakanku mencicipi kue-kue kecil.
''Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikanmu?" tanya ibu itu sambil tersenyum. Aku kebingungan menjawabnya. Kemudian aku teringat tentang uang SPP Nurul yang belum terbayar. Aku bilang jujur kepada beliau bahwa keluargaku kesulitan ekonomi dalam membayar uang sekolah adikku.
Suatu keajaiban terjadi malam itu. Ibu itu mengantarku pulang, lalu berkunjung sejenak ke rumahku. Meskipun kaya, dia tampak nyaman saat memasuki perkampunganku yang kumuh. Dia terlihat prihatin dengan kondisi keluarga kami. ''Baiklah, Bu. Begini saja. Mulai besok ibu jangan jadi pemulung lagi. Mulai besok ibu bekerja di rumah saya sebagai pembantu. Kebetulan saya sedang membutuhkan seseorang untuk mengurusi rumah," ujar ibu tersebut kepada ibuku. ***
It's Very Extraordinary
Oleh: raisha IrmalaL is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you adore...
Lantunan lagu L-O-V-E dari Nat King Cole mengalun indah dari iPod Touch milik Tatia. Entah sudah berapa kali lagu itu terputar ulang. Itu lagu favorit Tatia. Sahabatku yang manis ini memang tak pernah absen mendengarkan lagu ini. Terutama saat sedang duduk di bangku taman kompleks seperti ini bersamaku. Kami selalu duduk berdua di bangku taman ini setiap sore setelah jalan-jalan keliling kompleks.
Jujur saja. Sebenarnya, aku sama sekali tidak menyukai ide berjalan-jalan sore. Apa sih enaknya berkeliling melihat hal yang sama tiap hari? Aku sih lebih suka tidur di rumah atau main apapun, daripada sekedar berjalan keliling kompleks. Iya kan?
Tapi, aku tidak pernah bisa menolak ajakan Tatia. Lebih tepatnya, aku tidak bisa membiarkannya jalan-jalan sendirian keliling kompleks. Mana bisa aku membiarkan gadis yang kusukai itu jalan sendirian kayak anak hilang? Aku tidak mau melihatnya digoda cowok iseng. Aku akan selalu menjaganya.
Sejak pertama kali melihat Tatia, aku langsung sadar bahwa dia sukses mencuri hatiku. Saat itu aku masih kecil. Tapi aku langsung jatuh hati pada senyumannya. Tatia punya senyuman secerah mentari. Hangat senyumnya selalu sukses mencerahkan hariku. Hawa sedingin apapun, akan terasa hangat dengan melihat senyuman Tatia. Yah, setidaknya, itulah arti senyuman Tatia bagiku.
Kami tumbuh dan besar bersama sebagai seorang sahabat. Aku selalu mendengarkan keluh kesahnya. Aku selalu ada disampingnya saat ia membutuhkanku. Aku menemaninya di saat dia tertawa maupun menangis. Mungkin Tatia tidak pernah sadar, aku menyayanginya. Menyayanginya lebih dari siapapun. Lebih dari cowok-cowok yang pernah mencoba mendekatinya. Untungnya, dia selalu menolak ajakan pacaran dari cowok-cowok itu.
"Aku nggak suka mereka, Chiko. Aku nggak mau menyakiti hati mereka dengan menerima ajakan mereka padahal aku nggak punya perasaan apa-apa. Aku nggak salah kan Chiko?" Selalu begitu alasan yang Tatia ungkapkan padaku setelah dia mematahkan hati para cowok itu. Aku cuma bisa mengangguk mendukungnya.
"Chikooo!! Itu dia keluar!" seru Tatia sambil menahan napas, melepas earphone iPodnya, dan berpegangan erat padaku. Aku menoleh ke arah yang ditatap Tatia dengan penuh semangat. Seorang cowok berusia 16 tahun membuka pintu pagar, mengeluarkan sepeda fixie-nya. Cowok itu punya rutinitas bersepeda setiap sore. Tatia hafal benar kebiasaan itu. Itulah sebabnya, selama sebulan ini, kami tak pernah absen duduk di bangku taman ini.
Namanya Arya. Cowok itu anak pindahan. Dia dan keluarganya baru saja sebulan yang lalu menempati rumah yang letaknya persis di depan taman tempat kami duduk ini. Dia bertubuh tinggi, berambut cepak, dan punya senyuman berlesung pipi yang aku yakin bisa melumpuhkan hati cewek manapun yang melihatnya. Termasuk hati Tatia.
Baru kali ini Tatia menaruh perhatian khusus pada seorang cowok. Sayangnya, Tatia tidak punya keberanian untuk berkenalan dengannya. Bahkan, Tatia tahu bahwa namanya Arya dari sebuah kebetulan saat teman si Arya berteriak memanggil nama Arya dari depan pagar rumahnya.
Ya. Tatia sama sepertiku, cuma bisa memendam perasaan sukanya itu sendirian. Arya mungkin tidak pernah tahu bahwa ada seorang gadis manis yang menunggu setiap sore, hanya untuk melihat sosoknya dikejauhan.
Ironisnya, Tatia juga mungkin tidak akan pernah tahu, kalau aku, yang selama ini disebelahnya, mencintainya setengah mati. "Aku sayang kamu Chiko. Kamu sayang aku kan? Kamu memang sahabat terbaikku!" begitu selalu ujarnya saat memelukku. Lihat kan? Tatia hanya menganggapku sebagai sahabat. Tidak lebih. Ah, Tatia... seandainya kau tahu. Aku mencintaimu, lebih dari sekedar sahabat.
Disebelahku, Tatia masih berpegangan erat padaku. Matanya lekat menatap Arya yang sedang mengecek keadaan sepedanya sebelum berangkat. Memandangnya seakan takut untuk berkedip. Seakan takut, kalau sedikit saja dia meleng, Arya akan lenyap. Padahal, Arya tidak pernah sekalipun menoleh ke arah kami. Mungkin dia tidak menyadari keberadaan kami ya?
Tapi sepertinya hari ini keajaiban datang. Tiba-tiba, Arya menoleh ke arah kami. Dan tersenyum! Tatia mempererat pegangannya padaku. Aduh, sakit! batinku. Tapi aku diam saja. Kalau dengan mempererat pegangannya dia merasa lebih tenang, aku tak keberatan kok.
Disebelahku, Tatia tampak pucat. Dia bahkan menoleh ke belakang untuk memastikan dibelakang kami tidak ada orang lain yang mungkin disenyumi oleh Arya. Jelas saja dia shock kehadirannya disadari oleh Arya. Sudah sebulan ini kami duduk di bawah bayang-bayang rindang pohon di taman.
Ajaibnya lagi, Arya mendatangi kami. Masih dengan senyuman mautnya.
"Hai..." sapa Arya kalem pada kami berdua
Aku menoleh ke Tatia. Memastikan reaksinya. Saking grogi dan shock-nya, Tatia malah bengong memandangi Arya. Kusenggol lengannya dengan tubuhku. Tatia tersadar dan tersenyum ragu-ragu, "H.. hai.." ucapnya terpatah-patah pada Arya.
Arya tertawa renyah. "Kok kelihatannya kaget gitu? Hehe. Aku selalu melihat kalian berdua lho dari dalam rumah. Kalian selalu duduk disini setiap sore kan? Makanya aku jadi penasaran pengin kenalan sama kalian. Namaku Arya, kalian siapa?" tanyanya sambil memandang kami bergantian.
Arya mengulurkan tangan ke Tatia. Tatia menyambut uluran tangan Arya, masih dengan muka shock. Aku bahkan serasa dapat mendengar bunyi deburan jantungnya dari sini. Tatia mencoba tersenyum. Dan jujur saja, baru kali ini, aku melihat Tatia tersenyum semanis ini. Aura mataharinya bersinar lebih terang.
Ah, akhirnya... Tatia menemukan cintanya.
Aku? Oh, jelas aku mendukungnya. Oke, aku akui, aku memang patah hati dan cemburu pada Arya. Tapi, asal Tatia bahagia seperti ini, aku juga ikut bahagia. Aku cukup mendukung Tatia disampingnya sebagai sahabatnya. Cintaku tak akan luntur. Aku akan tetap setia. Bahkan jika nanti Tatia sedih karena Arya, aku akan tetap disampingnya menghiburnya. Bagiku, bisa mencintainya saja sudah cukup. Inilah yang kusebut dengan very extraordinary love.
"Aku Tatia..." Tatia akhirnya bersuara memperkenalkan dirinya.
Arya ganti menoleh ke arahku. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku. Tatia ikut menoleh ke arahku kali ini.
"Oh, dia Chiko.. Sahabat sekaligus Golden Retriever kesayanganku," ujar Tatia memperkenalkan aku pada Arya sambil memelukku dengan sangat erat.
"Guk!" ***